Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dua - 4 Oktober 2075

Jum'at, tanggal 4 Oktober 2075. 

Indonesia sedang melalui musim hujan yang ganas. Sejak insiden pemanasan global yang diperkirakan dimulai pada tahun 1830an, tak lama setelah terjadinya Revolusi Industri, dampak perubahan iklim menjadi semakin mengkhawatirkan.

Curah hujan di negeri tropis ini bahkan kerap tidak menentu, dan rentan mendadak ekstrem. Hujan yang melanda bisa berlangsung berhari-hari. Dengan suhu rendah rata-rata mencapai sepuluh derajat celcius di daerah desa Ciboda, tempatku sekarang berada.

Menyesali keadaan, tidak akan mengubah keadaan. Siapa yang harus disalahkan atas pemanasan global? Para leluhur?

Aku sempat berasumsi leluhur kami pun tidak terlalu peduli dengan kerusakan ini. Tentu saja. Untuk apa peduli pada anak-cucu yang sosoknya tidak pernah kau jumpai? Pada akhirnya mereka semua sudah mati terlebih dulu ketika Indonesia masih menjadi Tanah Surga. Jadi, mereka tidak paham betapa mengerikannya hujan es beserta guntur yang turun selama berhari-hari tanpa henti. Atau, panas terik yang sanggup menewaskan pejalan kaki yang terlalu lama berjalan di luar.

Aku bernapas pelan. Menghapus gambaran negatif tentang dunia.

Sapuan udara dingin mendorongku berpaling dari memandang ke luar jendela, dan merenungkan tentang perubahan iklim. Aku berbalik badan di atas kursi putar, dan mataku menyapu seisi kamar. Melihat pemandangan yang berbeda. 

Rumah Kakek termasuk tipe rumah tua yang tidak dilengkapi teknologi tahun 2075. Kami masih menggunakan lembaran kertas dan buku cetak. Masih memiliki lantai, dinding dan perabotan dari kayu serta keramik. Sekali pun ada beberapa perabot pribadi yang kubawa dari Bi Jiu, seperti kasur lipat yang melayang karena alas magnet. Praktis digunakan, empuk, ringan, dan mudah dibawa-bawa.

Aku menempati meja belajar dekat jendela ketika melihat ke sisi timur. Pandanganku bertemu tiga deret rak buku bersandar rapat ke dinding, sebuah lemari pakaian, dan satu lemari kaca berisi perlengkapan lain. Aku berusaha tidak menyimpan terlalu banyak perabot. Berharap kamar yang berada di lantai dua ini bisa kerap tampak rapi dan minimalis.

Aku merekatkan sebuah mading berukuran dua kali empat meter di dinding kamar sebelah barat. Kemudian menempelkan peta Indonesia di dalamnya, serta sederet catatan penting yang kudapat dari sumber online lalu kucetak. Hampir semua catatan terkait momen bersejarah yang terjadi di negeriku ini selama lima puluh tahun terakhir. 

Mulai dari dialog politik para pemimpin yang masa kecilnya menjadi korban gadget; sains dan bioteknologi; perjalanan menuju Mars yang memakan korban jiwa; invasi Negara Investor Indonesia (N.I.I); menjamurnya Tenaga Kerja Asing berjenis android; tragedi penjualan pulau-pulau untuk kebutuhan makan rakyat; perusakan total ideologi Masyarakat Muslim di tahun 2030, yang mengakibatkan jemaah tidak tahu apa-apa selain dari bertaubat dan sedekah... serta banyak lagi. 

Sebagian beritanya mungkin akan terkesan seperti khayalan orang sinis, bagi para leluhurku yang krisis visi dan imajinasi.

Aku memalingkan pandangan dari mading.

Aku meluruskan kaki, bangkit dan menghampiri sebuah lemari kaca setinggi dua meter. Aku selalu memandang isi lemari itu dengan jantung berdebar, hingga suaranya seakan terdengar oleh telingaku. Berbagai bentuk pikiran muncul ke dalam benak. Lemari kayu itu berisi peralatan mendaki, mulai dari tali, sepatu bot, jas hujan, kantong tidur, beberapa perlengkapan berteknologi tinggi, bahkan sampai pisau bayonet yang dapat melubangi baja. 

Di rak bawah terdapat sebuah pedang berjenis sabel—ada kisah tersendiri kenapa pedang hitam itu bisa berada di sana. Di samping pedang, tergeletak pula sebuah cincin sewarna jelaga yang memiliki ukiran emas di badannya, bertuliskan : Yang Melihat.

Cincin itu… oh, aku belum berani memakainya.

Aku memalingkan pandangan dari lemari kaca, memasukkan tangan ke saku celana lalu sekadar berjalan menuju jendela kamar. Pemandangan di luar jendelaku adalah kaki gunung yang hijau dan terawat—persis taman bermain milik seorang yang teramat kaya. Dipayungi langit berawan yang bersemburat jingga dengan beberapa satelit pribadi yang melayang di sana-sini. 

Aku kembali merasakan dengan sadar, betapa nikmatnya ada aliran udara yang memasuki relung paru-paruku, sembari mengingat kebesaran Allah. 

Dunia tampak tenang dan damai dari sini. Tapi, di luar sana… di Bi Jiu, di kota-kota lain yang telah dimiliki oleh jajaran Negara Investor Indonesia, kerusakan dan kekerasan cukup sering terjadi. Terlebih terhadap orang-orang Muslim.

Aku tahu.

Tidak datang suatu zaman… melainkan zaman yang setelahnya lebih rusak dari pada yang sebelumnya. Yeah… kupikir, ucapan itu tidak salah.

rama nugraha
rama nugraha Mantan Orang IT yang jadi Penulis.

Posting Komentar untuk "Dua - 4 Oktober 2075"