Empat - Kakek Arya
Kakek Arya memiliki raut wajah yang teduh.
Matanya bulat dan selalu berbinar-binar seakan jiwanya tak pernah luntur dari semangat. Bibirnya yang pucat mudah sekali menawarkan senyum kepada setiap orang yang ditemuinya. Kakek Arya lahir dan besar di Jakarta (berubah nama pada tahun 2058 menjadi Sunk Dosi--kota yang tenggelam, dan menjadi pusat pembuangan limbah di Pulau Jawa), sebelum merantau dan berkeliling Indonesia di sekitar tahun 2020an.
Selama puluhan tahun kakek sempat berprinsip bahwa Tuhan itu tidak ada. Dia sempat mencela Islam. Karena menurutnya, Islam justru tidak membawa perbaikan dan kemajuan bagi negeri. Disebabkan mengandung doktrin yang pincang. Pendapatnya itu berlandaskan pada realita, akan mandeknya intelektual masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk Islam. Alih-alih melihat bangsa yang beradab. Dia justru melihat masyarakat pemalas yang tidak menghargai ilmu pengetahuan, bahkan dibandingkan dengan orang-orang Barat.
Kakek selalu bertanya-tanya, kenapa orang yang percaya Tuhan justru lebih bodoh, dibandingkan orang yang tidak percaya Tuhan?
Sampai kemudian, kepercayaan dan pemikiran kakek berubah seratus delapan puluh derajat. Ketika akhirnya, dia membaca dan merenungi Al-Qur’an di usianya yang ke 50 tahun. Tidak lama setelah ayah dan ibuku meninggal. Kakek bilang, hidupnya berubah drastis setelah itu.
Kakek pun mulai mengajarkanku pemahaman-pemahaman Islam di dalam Al-Qur’an, yang hampir tidak pernah didakwahkan oleh para Ulama pada umumnya. Terutama terkait ideologi, identitas, serta filosofi hidup seorang Muslim.
Aku melihat keriput letih yang jelas di bawah kantong mata kakek. Aku menghela napas, teringat kakek sedikit sekali tidur di kala malam. Kakek menyisir rambut yang telah memutih, dan mengenakan peci ke kepala. Lalu dia bergeming di hadapan cermin memandangi tubuh yang telah kehilangan berat badan hampir 15 kilo. Belakangan ini, kondisi kakek memang sedang tidak sehat.
Itu sebab aku memutuskan pulang menemaninya.
Mataku menyapu ruangan. Kamar kakek juga memiliki sepetak tempat untuk berwudhu, meja kerja yang menghadap jendela dan sederet rak buku yang serupa dengan milikku di lantai dua. Kakek Arya sudah seperti Ayah bagiku. Dia ayah dari Ayahku. Usianya 76 tahun. Postur tubuhnya masih tegap dan pijak langkahnya pun masih cukup kuat. Hanya saja dia sudah tidak sanggup lagi turun naik gunung.
Kakek telah bekerja di Keluarga Park Yong selama lima belas tahun terakhir. Dia tahu banyak tentang seluk beluk Gunung Gede dan berbagai rahasia yang tersimpan di dalamnya. Sekali pun dia tidak pernah mengatakan semua tentangnya kepadaku.
Kakek bertugas sebagai Kepala Penjaga Gunung Gede yang telah resmi dimiliki oleh Keluarga Park Yong, sejak hampir tiga dekade lalu. Dahulu, kesehariannya adalah melakukan patroli di seluruh Gunung Gede. Mengusir para penyusup. Ditemani dengan beberapa orang rekan kerja. Mulai dari jam 6 pagi, sampai jam 5 sore.
Tuan Yong yang terlanjur percaya dan mengandalkan kakek, tidak ingin kakek pensiun. Sekali pun kakek sudah semakin renta. Sementara rekan-rekannya yang lain telah dipensiunkan, dan perekrutan penjaga baru pun tidak pernah kunjung dilakukan. Tuan Yong kemudian memberi solusi dengan mengirimkan enam robot kerangka yang bisa dipergunakan untuk membantu kakek melakukan penjagaan Gunung Gede.
Maka sejak saat itu, kakek menjadi mandor para robot.
Kakek keluar dari kamar dan melewatiku yang berdiri menempel di ambang pintu sembari tersenyum. Wewangian yang khas melintas dan menyenangkan penciumanku. Adzan baru saja selesai berkumandang dari speaker. Aku membaca doa sehabis adzan dalam hati. Kakek pun tampak demikian, ketika dia berdiri diam seraya menundukkan kepala dan mengangkat tangan. Setelah itu, tanpa berucap kata, kami menuju sudut ruangan yang dipugar dan dibangun sebuah tangga batu.
Kakek berjalan lebih dulu, aku menyusul di belakang.
Kami menuruni anak tangga yang tersusun menggunakan batu kali, melewati papan pinus yang sengaja ditempel di langit dinding. Bertuliskan: “Menuju Rumah Allah.” Sudah menjadi kepahaman bagiku dan kakek, bahwa kami menghindari berbicara seusai adzan berkumandang, apalagi dalam perjalanan menuju masjid.
Kami lebih condong memilih bertasbih dalam hati.
Posting Komentar untuk "Empat - Kakek Arya"