Empat - Malika
Irirana tampak belum siap menceritakan siapa Nomor 4.
Seolah sosok tersebut menyimpan hubungan pribadi dengannya. Irirana menyampaikan bahwa ada desas-desus rumor dari seorang pasien di klinik Nunin. Sesuatu sedang terjadi di Dunia Bawah. Banyak anak dinyatakan hilang, dan gumpalan rambut kusut mereka ditemukan di banyak tong sampah di berbagai negeri. Irirana curiga peristiwa tersebut adalah indikasi keberadaan Nomor 4.
Kebisuan mencuat sejenak di antara mereka.
Irirana berubah lesu dan membisu. Datan mencium beban yang mendera perempuan itu. Datan tahu satu hal tentang Irirana, emosinya mudah terganggu kalau menyangkut problematika anak-anak. Datan berasumsi Nomor 4 mungkin seorang penculik orang di bawah umur.
“Aku akan membantumu, Irirana,” Datan heran lidahnya mengucap demikian.
Bola mata Irirana mengecil, seakan ingin mendengar kembali ucapan Datan.
“Aku serius. Sembari menuju Eglak kita akan melacak keberadaan Nomor 4.”
“Terima kasih atas tawaranmu, Datan,” muncul senyum samar di wajah Irirana. “Kupikir aku tak ingin ketinggalan. Aku telah memutuskan membantumu memburu Antal dan Jasin.”
Datan tertawa kecil, lalu mengangguk sebagai tanda sepakat.
“Kalau begitu aku perlu memberitahukanmu sesuatu,” kata Irirana. Matanya mencermati Datan sejenak. “Terkait kelemahanku.”
Datan mengerutkan kening, melihat Irirana dengan tidak nyaman. “Kelemahanmu?”
Irirana mengaku tanpa ragu kalau dirinya menderita psikosomata. Penyakit distorsi mental yang didapat dari trauma masa kecil. Penderita psikosomata dapat secara tiba-tiba, dan tanpa gejala, kehilangan segenap daya hidupnya—kekuatan, vitalitas, energi, bahkan semangat juangnya, di hadapan rasa sedih dan kehilangan.
Irirana mengungkapkan contoh kejadian di saat terserang psikosomata, ialah ketika pertama kali bertemu Datan di belantara Yardara. Sewaktu Irirana dilanda sedih akibat kehilangan Elina. Sehingga sekujur tubuhnya kehilangan daya juang dan melemah. Itu sebabnya Irirana hanya bisa menjadi beban bagi Datan yang rela menggendongnya.
“Aku merasa bersalah terhadapmu setiap kali mengingat kejadian itu,” katanya, lalu menyunggingkan senyum samar. “Tetapi, peristiwa itu juga yang membuka kepercayaanku kepadamu.”
Peristiwa kedua adalah ketika keluar dari Tormera. Ketika di hadapan mereka laki-laki dan perempuan, serta anak-anak yang terjangkit darah hitam menyerupai hamparan orang yang putus asa, dan mereka terpaksa menerobos kerumunan itu dengan cara yang brutal. Irirana mengaku bisa mendengar ada kepala yang pecah akibat terinjak tapal kaki kuda ketika itu. Dia merasakan amat sedih dan terluka melihat kesusahan mereka. Dia bisa membayangkan bagaimana menakutkan dan putus asa dirinya, seandainya terjangkit darah hitam dan berada di tengah-tengah mereka.
Datan membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Dia tak memercayai apa yang didengarnya. Berita ini memberatkan napasnya. Di sisi lain, Datan pun mengerti kalau dia tak bisa menyalahkan Irirana. Tidak ada orang yang sukarela mau terjangkit penyakit gangguan mental seperti itu. Hanya ini juga berarti Datan harus memberikan pengawasan ekstra terhadap Irirana.
“Tidak adakah pengobatan untuk penyakit ini?”
“Aku sudah coba beberapa,” jawab Irirana. “Belum menemukan yang sesuai harapan.”
Datan mendesah, “Kenapa kau memberitahuku hal ini, Irirana?”
“Karena kita rekan seperjalanan sekarang. Menuju dunia para bajingan,” kata Irirana. “Kita tidak tahu konflik apa yang dapat tiba-tiba terjadi di bawah sana.”
Datan mengerti alasan Irirana. Mereka tidak memiliki rencana pasti dan tidak tahu bahaya seperti apa yang menanti. “Aku perlu informasi lebih banyak tentang si Nomor 4.”
“Aku akan menceritakan tentangnya setelah kita berhasil membuktikan keberadaannya di Dunia Bawah,” jawab Irirana.
Datan termenung memandang Irirana, diam-diam merasa lega. Bersama Irirana di sisinya, persentase keberhasilan mengejar Antal dan Jasin lebih besar. Meskipun Irirana juga menyeretnya memburu seorang penjahat yang berpikiran menyimpang. Datan pikir, dia cukup senang dengan keputusan kerjasama serta saling membantu seperti ini.
“Kalau begitu baiknya sekarang kau istirahat,” Datan mengakhiri. “Karena kau kelihatan lelah sekali sehabis lari berhari-hari menyusulku. Terima kasih sudah datang, Irirana.”
Datan tidak tahu pasti apakah matahari ataukah bulan yang menerangi Permukaan. Hanya saja perutnya berkeriuk karena lapar. Datan melalui beberapa jam terakhir dengan separuh sadar, pikirannya terjaga dan dipenuhi kabar yang dibawa Irirana, serta misi memburu Nomor 4. Datan juga bertanya-tanya apa yang Irirana alami dalam mimpinya, karena dia mengigau seperti bertemu hantu. Ketika Irirana terbangun, sisa-sisa rona pucat seperti baru saja dihapuskan dari wajahnya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Datan heran.
Irirana mengangguk sebagai isyarat tak ingin membicarakan mimpi yang dialami.
Mereka menyantap bekal roti gandum berisi selai mangga yang mulai kering yang dibawa Irirana. Setelah itu mereka menghitung dan membagi ulang ransum. Datan telah menghabiskan separuh bekalnya selama beberapa hari ke belakang. Dia mengaku jengkel dengan dirinya sendiri. Berdasarkan perhitungan Irirana setelah pembagian ransum, mereka harus mengisi ulang bekal di hari ketiga.
Pandangan Irirana tertarik ke tangan Datan. “Ada yang berubah,” katanya.
Datan memahami dan mengangkat tangan kirinya ke depan wajah. Irirana menyadari perbedaan pada malika. Permukaan malika berwarna merah menyita perhatian, dan urat kayunya senyala kobaran api.
“Cincin ini jadi terasa hangat,” kata Datan. “Aku tak tahu apa yang terjadi.”
“Pemberian Ayahmu?”
Datan mengangguk.
“Boleh kulihat?”
Datan melepas malika dan memberikannya pada Irirana. Irirana dengan teliti mengamati malika, meraba bagian luar dan dalam cincin dengan ujung jemari. Datan merasakan jantungnya berdegup ketika melihat ketegangan terpapar di wajah Irirana.
Bola mata Irirana memicing dan bersinar. “Rukh,” gumamnya. Tidak terdengar kaget atau takjub, tapi lebih terkesan ada kenangan misterius yang terbangkitkan dalam benak.
Irirana melepaskan pandangan, mengembalikan cincin itu pada Datan.
“Kau mengetahui sesuatu?”
“Ayahmu menyimpan rahasia,” kata Irirana, tanpa melakukan kontak mata dengan Datan. “Cincin itu adalah pemberian sakral untuk dia yang berjasa pada Perserikatan Raja.”
Datan memandangi malika sesaat, dan menyematkannya ke jari tengah tangan kirinya. Dia mengganti posisi duduknya di kain yang dijadikan alas di lantai. Bersila dengan punggung tegak memperhatikan Irirana yang tertegun memandang ke ujung lorong. Seakan berharap untuk segera melanjutkan perjalanan. Apa yang Irirana ketahui tentang malika?
Datan tahu Ayahnya pasti menyimpan suatu rahasia. Tetapi, sekarang Datan pun tak ingin memikirkan hal itu. Dia merasa harus fokus pada misi mencari Antal dan Jasin, serta memburu Nomor 4.
“Lupakan tentang cincin,” pungkas Datan. “Waktunya kita berangkat, Irirana.”
Lorong itu konon hanya berupa celah kecil mencurigakan yang mengeluarkan asap putih. Ditemukan pertama kali oleh Osberga Sattin, yang kemudian digali menggunakan beliung milik gilda penjelajah. Kepala gilda, Solak Dur, memutuskan turut mengorek celah itu. Mereka menggali bersama, siang-malam hingga celah itu membesar, membentuk suatu terowongan atau lorong dengan lebar yang mampu dilewati sebuah kereta kuda dan panjang lebih dari tiga hari perjalanan.
Seperti yang tampak di hadapan Datan sekarang.
Terdapat kisah aneh dalam penggalian itu. Disebutkan bahwa seluruh anggota gilda tidak bisa menghentikan penggalian. Ada suara-suara aneh yang merasuk ke dalam kepala mereka. Suara panggilan yang menyuruh—memerintah tepatnya, mereka untuk terus menggali. Suara itu tidak pernah berhenti menghantui sampai mereka menyelesaikan penggaliannya. Beberapa anggota gilda yang menolak, bahkan mengalami mimpi buruk akut dan tekanan stress, hingga muntah-muntah seperti orang keracunan. Sampai pada akhirnya, mau tidak mau, mereka melanjutkan penggalian.
“Kupikir itu panggilan Tarlaiyan,” komentar Irirana.
“Panggilan Tarlaiyan?”
Irirana yang dibesarkan dalam kultur Marra, berkata kalau orang-orang Marra kuno, suku Qortek di Mois Waar, pernah menjuluki panggilan misterius yang meracuni benak semacam itu sebagai panggilan Tarlaiyan. Dan telah dilaporkan muncul di berbagai catatan sejarah negeri di Permukaan sepanjang masa peradaban Neena. Suara-suara itu kerap didengar oleh orang yang sedang putus asa, sering mendorong mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
Datan mengerutkan kening, “Siapa si Tarlaiyan ini?”
“Entitas dari kalangan Roh, seperti Arkaiyan.”
“Aku tidak tahu apa-apa tentang Roh, Irirana.”
Irirana bertutur, berbeda dengan Anag, Roh adalah entitas tak kasatmata yang tidak memiliki wujud. Mereka ada, tetapi tidak dapat berinteraksi dengan makhluk berwujud, tanpa merasuki raga makhluk lain. Dalam banyak sejarah peradaban Neena, roh sering kali dipuja dan disembah. Mereka sering dianggap entitas agung nan misterius yang memiliki kekuatan dan pengaruh dalam mengendalikan energi semesta.
Datan telah mengenal Arkaiyan, Roh Malam, di malam pelantikan dirinya saat menjadi Royan. Arkaiyan menggunakan raga Irirana ketika itu.
Lalu sekarang, Irirana mengungkapkan tentang adanya Roh Api, Tarlaiyan.
Tarlaiyan dikenal sebagai roh paling membangkang dan licik di antara semua. Di era awal penciptaan, Tarlaiyan banyak menggoda kaum Neena untuk merusak keseimbangan dan berbuat melampaui batas dengan mengikuti hawa napsu duniawi yang tersimpan di dalam dada.
“Kau pasti berpikir aku ini sedang mendongeng, ya?” celetuk Irirana. Irirana tampak tahu kalau Datan tak mudah percaya pada kisah berupa takhayul semacam itu.
Datan menggeleng, “Aku justru berpikir betapa menakutkannya Tarlaiyan ini.”
“Ya, aku setuju,” Irirana mengakui. “Godaan Tarlaiyan itulah, yang muncul dalam bentuk bisikan-bisikan misterius ke dalam pikiran seseorang.”
Datan bisa mengerti betapa tertekannya seseorang mendengar bisikan semacam itu dalam kepalanya. Perintah untuk menggali dan terus menggali. Kepala mereka pasti sakit sekali. Seperti yang Datan rasakan ketika diserang kenangan buruk tentang kematian Ayah.
Posting Komentar untuk "Empat - Malika"