Satu - Bertemu Ana
Satu - Bertemu Ana
Datan Woudward berusaha menghentikan gemetar di kakinya.
Dia terguncang. Di sekitarnya, ratusan pria, wanita dan anak-anak, bergelimpangan. Membujur kaku. Menghampar hingga ke ujung jalan layaknya kumpulan jasad terlantar di medan perang. Mereka pengunjung pasar malam yang mendadak ambruk tanpa sebab. Sebagian saling tindih, dengan mata melotot dan wajah dilanda ekspresi panik serta ketakutan. Kantong-kantong belanja berserakan. Isinya berhamburan—selusin pakaian murah; perhiasan palsu; ornamen plastik penghias ruangan; sampai hidangan ringan penutup makan malam.
Terpaan cahaya perak menambah angker pemandangan itu.
Hanya Datan yang sadarkan diri. Padahal semenit sebelumnya, dia tengah berada dalam gendongan Ayah. Melarikan diri dari kejaran petugas keamanan, caci maki dan tatapan berang seluruh pengunjung. Ayah ketahuan mencuri. Sebelum mendadak semua orang roboh, dan dia terlempar dari dekapan Ayah.
Datan mengangkat ujung jemarinya yang terasa perih. Menemukan lecet akibat mencengkeram kulit jalanan. Napasnya terengah. Dia memegangi dada yang mengembang mengempis. Keheningan di jalan menghimpit Datan. Tidak terdengar erangan atau pun desahan makhluk yang bernapas.
Ayah… di mana Ayah? pikirnya. Dia menyapu jalanan, mencari-cari wajah yang dikenalnya.
Tiba-tiba Datan merasa sepasang mata lekat mengawasi tak jauh dari tempatnya berpijak.
Tubuhnya menegang. Datan terlalu takut bergerak. Langkah kaki yang tenang terdengar mendekat di belakangnya, memilih petak-petak jalan, melangkahi tubuh para pengunjung. Lutut Datan gemetar lagi. Susah payah dia berbalik, tertegun melihat sosok menjulang di hadapannya.
Melihat postur tubuhnya, seorang perempuan.
Dia berdiri tegap, berpenampilan misterius. Mengenakan pakaian ringkas serba hitam dengan motif khas yang berpendar keemasan di bawah sinar bulan. Sabuk kulit melingkar di pinggang, dengan pengait bersepuh emas yang berbentuk kepala burung hantu bertudung menggigit belati. Sebuah busur seindah malam, ditemani sekantong anak panah berbulu emas, tersandang erat dan anggun punggungnya.
Tudung lebar memayungi kepalanya. Secarik kain hitam menutupi separuh wajah. Hingga hanya memperlihatkan setengah batang hidung serta sepasang tatapan karismatik yang berpandangan dalam—seakan dia telah hidup berkuasa melintasi zaman. Datan tahu dia berdarah Marra. Ayah bilang mereka memiliki mata mirip bola tembaga yang membara—dan seperti itulah mata perempuan itu.
Pantat Datan jatuh ke tanah. Tungkainya mendadak lumpuh. Dia bernapas berat, kerongkongannya seakan tersumbat gumpalan lendir.
Si perempuan membungkuk sedikit. Membuka mata lebar-lebar. “Wah-wah… seorang Ingra, ya?” selidiknya penuh minat. Sesaat mencermati Datan dari ujung kepala sampai kaki, kemudian berhenti di matanya. Memandang seakan-akan Datan adalah makhluk antik memesona yang datang dari peradaban lampau tak dikenal. “Mata yang mampu melihat menembus gelap; Kaum Penjelajah Malam; Pembawa Perubahan; Sang penunggang Nameer sejati…
“Katakan padaku, apa kau pun pernah bertemu Bisik Hutan?”
Lidah Datan kelu. Kedua matanya terpancang membalas tatapan si perempuan, yang tampak tahu banyak tentang Ingra. Dia penasaran. “Bisik—Hutan?” tanyanya gugup, menggeleng. “Nameer?”
Si perempuan kentara menyunggingkan senyum kecil di balik penutup wajahnya. “Ya,” angguknya. “Mereka penguasa langit. Terbang secepat peluru!” ungkapnya dengan mata berbinar-binar. “Oh! Dan Bisik Hutan, mereka adalah makhluk berkabut yang berbisik di kegelapan malam. Konon hanya orang Ingra yang bisa melihat wujud-wujud elok mereka.”
Datan mengerjap takjub. Benaknya terbang ke langit. Menerka-nerka seperti apa wujud Nameer. Sebelum berganti membayangkan sosok-sosok tak berbentuk yang terselimut kabut dan lincah menyelinap di antara rapatnya pepohonan. Tentu dia belum pernah melihat mereka.
“Wow…”
“Ana. Panggil aku, Ana,” si perempuan menjulurkan tangan membantu Datan berdiri. “Tak perlu takut, Datan. Aku tidak menggigit.”
Dia tahu namaku? Datan mengangguk, menyambut uluran tangan Ana. Sekejap dia heran, karena samar mencium aroma tubuh yang sama seperti milik Ayah. “Kau pernah bertemu mereka?” tanyanya. “Maksudku, Ingra—selama ini kupikir aku sendirian.”
“Kenyataannya kalian memang spesies langka. Tapi aku memiliki beberapa kenalan menyenangkan yang berdarah Ingra,” Ana mengambil jeda, seakan dapat membaca keinginan Datan. Dia menggeleng. “Hem-hem,” gumamnya dalam nada menolak dan mulut terkatup, “itu akan menjadi kisah yang terlalu panjang untuk diceritakan.”
Datan mendesah kecewa teringat situasinya. Ana bergerak, Datan mengikuti. Dari belakang, Datan menangkap pantulan kilau emas pada bagian belakang pundak kanan di pakaian Ana: hiasan simbol berupa susunan indah serpihan logam mulia. Berwujud burung hantu yang mengenakan jubah bertudung dengan sayap terkepak. Ana berhenti menemukan satu sosok yang belum bergerak.
Ayah ternyata berada sepuluh langkah di belakang Datan. Tubuh Ayah hampir masuk ke kolong meja kayu milik pedagang cincin antik di tepi jalan. Posisinya telungkup dengan wajah mencium aspal. Datan ingat Ayah berlari kencang sekali. Ana membungkuk, menarik dan menelentangkan tubuh Ayah. Datan melihat pipi dan hidung Ayah mengalami lecet. Ana hanya bergumam, menempelkan punggung jemari di atas kumis tebal Ayah.
“Hanya luka kecil,” kata Ana. “Dia baik-baik saja.”
“Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Ayah dan semua orang. Mereka tiba-tiba roboh.”
“Mereka hanya tertidur.”
Sekarang Datan mulai bisa menangkap suara dengkuran masal di sekitarnya. Dia melongo. “Mereka semua tertidur? Tapi kami—” mendadak Datan enggan melanjutkan.
“Dikejar karena Ayahmu ketahuan mencuri? Aku tahu.”
Wajah Datan memerah. Dia takut sekaligus malu, dan juga kesal.
“Tak perlu malu. Aku pun seperti Ayahmu.”
Ana mengeluarkan sesuatu, mirip kapur berwarna putih dari kantong kulit yang disimpan di saku. Dia menggosokkan kapur itu tepat di bawah lubang hidung Ayah. Mencemari kumis hitam Ayah yang telah dicukur rapi dan sengaja dipiara selama sebulan terakhir. Datan melotot—yakin Ayah bakal mengamuk mengetahui hal itu.
“Ini akan memulihkan kesadarannya,” Ana terkikik geli. “Kau bisa percaya padaku. Setelah Ayahmu sadar, cepatlah kalian pergi dari sini. Mengerti?”
Datan mengangguk. “Jadi…” gumamnya ragu. “Kau juga pencuri, Ana?”
Ana bangkit, berjalan jauh ke belakang. Dia melangkahi pengunjung yang mendengkur, tanpa suara. Datan mengekori Ana. Dia mulai tidak terlalu mencemaskan Ayah sekarang.
“Yah, tapi bukan amatir,” Ana menjawab. “Mencuri itu menyenangkan, Datan. Kurasa wajar kalau Ayahmu melakukannya.”
Datan bertanya-tanya, apa benar begitu?
Sepuluh langkah ke belakang, Ana berhenti lagi di bawah tiang lentera minyak tepi jalan. Rupanya dia menghampiri kepala petugas keamanan yang memimpin pengejaran Ayah dan Datan. Pria paruh baya itu bertubuh besar, setiap helai rambut dan bulu yang melekat di kulitnya berwarna perak. Pria Urgut itu mendengkur keras. Tampak nyenyak dengan posisi tubuh telungkup, dan pentungan kayu masih melekat dalam genggaman. Datan berjongkok sambil bersedekap, mengamati Ana dari jarak semeter.
Perhatian Datan terpusat pada Ana. “Dari mana kau tahu namaku, Ana?” tanyanya penasaran.
“Aku mengenal Ayahmu—tapi dia pasti tidak mengenalku. Ayahmu orang hebat.”
Datan mengangkat alis. Itu jawaban aneh untuknya.
Ana buru-buru menoleh, menatap tegas. “Dan jangan bertanya lagi tentangnya padaku,” katanya.
Datan mendapati itu sebagai ancaman yang dilembutkan. Dia terpaksa mengangguk. Kemudian Ana mengambil sekeping koin logam dari saku di sisi pinggang. Berwarna merah bata mengilap, dengan pahatan burung hantu bertudung. Dia meletakkannya di depan wajah si pria yang menghadap aspal beku. Mata Datan cukup jeli untuk melihat perbedaan pada koin itu. Meski dia tak bisa membaca tulisan yang tertera di tepi lingkarannya.
“Itu bukan Kurr, ya?”
Ana tidak menghiraukan pertanyaan Datan. “Kunjungi Nomor 14 di rumahnya,” dia berkata pada si pria, seakan yakin si pria mendengar dan akan segera mematuhinya. “Seseorang perlu mengurusnya.”
“Kau pencuri macam apa, Ana?” tanya Datan lagi.
Ana masih belum menjawab. Mata dia berpindah mengamati para petugas yang tercecer. Benaknya menerawang memikirkan sesuatu. Datan berusaha sabar menunggu. Bungkam. Namun tatapannya lekat dan cermat ke arah Ana. Seperti kucing lapar yang mengincar mangsa. Hingga lama-kelamaan perempuan itu bergerak-gerak risih.
Ana membalas tatapan Datan dengan gusar. “Kau sungguh penasaran, ya?”
Datan merekahkan cengiran masam.
“Aku seorang Royan, Datan. Anggota dari Persaudaraan Royan.”
Alis Datan berkerut. Disertai ekspresi tanda tanya yang menuntut.
“Kami kawanan pelanggar hukum yang senang berbuat seenaknya. Orang buangan, pencuri, mantan kriminal, dan macam-macam lagi,” ungkap Ana serius. “Yang pasti kami bukan tokoh panutan yang patut kau jadikan idola.”
Bola mata Datan membesar. Ekspresi mukanya seperti menemukan layang-layang berbentuk burung dengan ukuran sebesar rumah. Benaknya membayangkan kumpulan orang berpakaian misterius seperti Ana. Yang gagah dan berkuasa, sakti, serta dikagumi banyak orang.
Ana menatap curiga. “Nah… apa yang kau pikirkan sekarang?”
Datan menggeleng, gilirannya tidak menjawab. “Kenapa kau berpakaian begitu? Salah kostum, ya? Tidak kedinginan?”
“Ini pakaian khusus, Datan.”
Mulut Datan membentuk lingkaran. “Ingra,” katanya. “Ceritakan padaku tentang orang-orang Ingra, Ana.”
Ana berjalan mendekat, memberi senyuman di bawah bayang-bayang. Lalu mengacak-acak rambut Datan yang hitam dan tebal. Dia sedikit membungkuk. “Sarmala, Tanah Utara Urimenil, Datan,” pesannya, menyejajarkan pandangan dengan Datan. “Suatu hari nanti kau harus berkunjung ke sana.”
Datan terperangah sembari menatap Ana. “Sarmala, Urimenil?”
“Ya.”
Datan menyimpan nama itu baik-baik dalam ingatan. Sekalipun mau, dia tetap tak bisa melihat wajah yang tersembunyi itu. “Apa kita akan bertemu lagi?”
Ana melepaskan sentuhan, menegakkan tulang punggung. “Kau boleh mencariku kalau kau mau,” dia menarik ujung tudung yang menutupi kepala. Gerakan itu seperti suatu kebiasaan. “Tapi jangan terlalu berharap. Nah, selamat tinggal,” Ana berpaling dari Datan. Langkah kakinya lincah dan sehening malam, membelah hamparan pengunjung pasar.
Datan terhenyak memandangi kepergian Ana. “Aku akan ingat pesanmu!” serunya, melambaikan tangan sampai Ana mulai menghilang di ujung jalan yang berkelok. “Kita akan bertemu lagi, Ana!”
Posting Komentar untuk "Satu - Bertemu Ana"