Dua - Impian Menyimpang
Dua - Impian Menyimpang
Datan Woudward mendekatkan diri ke cermin oval yang menempel di lemari kamarnya. Menggaruk secuil noda di pipi merahnya dengan jari telunjuk. Tertegun bangga memandangi pantulan dirinya yang memandang balik. Wajahnya menggemaskan dengan hidung mancung, lesung pipi yang menarik hati, dan berbingkai rambut hitam tebal di kepala. Anak-anak perempuan suka bilang kalau Datan tampan.
Oh, Datan kerap tertawa riang mendengarnya.
Tetapi, ada satu bentuk yang paling Datan kagumi pada dirinya. Datan memiliki mata bulat sebening kristal, sehijau permata zamrud yang dipoles setiap hari. Mata itu begitu misterius—seperti menyimpan rahasia. Mata itulah yang membuatnya berbeda, tampil asing, hingga menyerupai lakon opera terkenal di kalangan orang Urgut dan Haedin. Mereka bilang Datan keturunan langka yang diramalkan sebagai kaum Pembawa Perubahan. Meskipun Datan sendiri justru menganggap ramalan itu hanya sekadar hiburan untuk anak-anak.
Kenapa aku lahir berbeda? Untuk apa aku hidup?
Datan memang masih berumur tujuh tahun. Tapi belakangan dia sering bertanya-tanya tentang hal ruwet semacam itu. Suatu kali, dengan tertawa-tawa seorang tua di pinggir jalan pernah bilang bahwa orang-orang hidup untuk bergosip, makan sate melilit dan main layang-layang, mengeluh, lalu mati. Sederhana. Uh, semoga Datan tidak hidup untuk tujuan seperti itu. Baginya, itu terdengar seperti lelucon orang malas.
Ayah tidak banyak membantu. Hanya berkata kalau Datan harus mencari sendiri jawabannya suatu hari nanti ketika dewasa. Tentu itu tidak masalah. Karena sejak bertemu Ana, Datan mulai bisa menyadari untuk apa dia hidup.
Datan tinggal bersama Ayahnya, Mattan Woudward, di rumah mungil nomor 21 di jalan Paling Ujung yang terletak di luar perbatasan negeri Tormera. Mereka hidup tanpa bertetangga. Jauh dari keramaian di bibir tebing rendah yang kelabu. Rumah mereka berciri khas Haedin yang keseluruhan dibangun dari kayu. Menyerupai kerucut. Beratapkan hijau rerumputan yang bernapas serta memiliki ruangan asri yang dihias dengan beragam tanaman semisal anggrek dan melati.
Dua bulan berlalu sejak malam pertemuan Datan dengan Ana. Sejak Ayah kepergok mencuri di pasar malam. Ayah telah meminta maaf. Beralasan kalau dia terpaksa, pendapatan dari menjual hewan buruan tengah merosot. Datan berusaha memaklumi meski tidak percaya sepenuhnya. Lalu mengenai Ana, Ayah tak mau peduli cerita tentangnya. Ayah tak peduli Ana mengaku mengenal dirinya, atau mengetahui nama Datan. Ayah malah menyalahi Ana yang muncul dan menolong mereka.
“Dia telah menjatuhkan harga diriku!” jerit Ayah. “Aku tidak pernah punya teman perempuan yang suka mencoreng kumis seorang pria!” dia mengambil napas. “Perempuan itu menipumu. Perempuan lebih pandai menipu daripada laki-laki, Datan. Jangan kau lupa itu. Pencuri, pandai menipu!
“Apalagi seorang Royan!”
Tapi perbincangan mengenai Ana belum berakhir. Datan malah merasa ketertarikannya terhadap perempuan misterius yang telah membuat tidur seluruh pengunjung pasar malam itu semakin menjadi. Menjelang akhir minggu ketiga, hujan salju di bulan Juni terasa lebih dingin dan ganas dibanding tahun sebelumnya. Sebab Ayah sedang marah besar. Datan mengutarakan keinginannya agar kelak menjadi seorang Royan demi bisa bertemu kembali dengan Ana.
“Aku terus memimpikannya, Ayah. Aku ingin menjadi Royan, dan bertemu lagi dengan Ana.”
Ayah menutup Cara Menanam Babag di Air, yang telah dibacanya berjam-jam itu. Bola matanya yang sebiru batu safir melotot menerjang Datan. Lalu kepalanya menggeleng tegas. “Kau sinting!” cemoohnya. “Tidak, Datan. Kita sudah menutup rapat masalah ini, dan kau malah membukanya lagi. Fira akan murka mendengar hal ini.”
Datan mengerang antara putus asa dan kesal.
Ayah adalah orang tergalak dan paling keras kepala yang pernah Datan kenal. Kalau sedang marah, seluruh perabotan rumah berkelotak dan lutut Datan sering tiba-tiba keropos mendengar bentakannya. Dia pria berdarah Haedin dengan bentuk wajah lonjong serta tulang pipi tinggi. Hidungnya dinodai bintik-bintik. Rambut hitamnya bergelombang, hampir tak pernah lupa diikat satu ke belakang. Tubuhnya tinggi dan ramping. Cukup kekar dan liat—tipikal seseorang yang bekerja sebagai pemburu serigala di hutan.
Dan Ayah beraroma vanili. Ya, vanili.
Datan tak pernah menemukan satu orang pun yang memiliki aroma tubuh seperti Ayah—atau Ana. Dalam keseharian, Ayah jarang bergaul dan tidak memiliki banyak teman. Dia senang menyendiri; gemar bermain catur—termasuk menyeret Datan main bersamanya; cara berpikirnya kerap menyimpang; suka memaksakan kehendak; dan kadang, tidak bersikap sesuai dengan apa yang dia ajarkan sendiri.
Seperti misalnya, Ayah selalu mengingatkan Datan untuk menjadi orang yang memberi manfaat bagi orang banyak. Sementara? Ayah sendiri tidak berbuat banyak. Kerjanya hanya berburu seharian. Lalu melakukan ritual menyembah Unum, sebelum bersantai mengisap Babag sembari minum kopi bertaburan cengkeh. Kadang, hanya terkadang, Ayah suka mendadak melankolis, berlinang air mata ketika merenung dalam kesendirian. Datan tidak pernah tahu mengapa itu bisa terjadi.
Ayah tak pernah mau bercerita banyak tentang hal-hal ruwet yang ada dalam pikirannya.
***
Datan tidak pergi ke sekolah. Di era Kebangkitan, bersekolah di Akademi hanya untuk anak-anak keluarga kaya yang tinggal di dalam perbatasan negeri. Meskipun begitu, bukan berarti Ayah membiarkan Datan tumbuh bodoh tanpa wawasan. Ayah mengajarkan beragam hal, sekaligus memberikan Datan buku pengetahuan untuk dipelajari. Datan dengan riang melahap dan mempelajari nyaris semua yang menarik perhatiannya, terutama sejarah. Belajar sendiri di rumah dan membantu Ayah menguliti hewan hasil buruan sebelum menjualnya ke kota, menjadi rutinitas utamanya.
Tapi seiring bergulirnya waktu, Datan merasa kesehariannya jadi semakin kurang menarik. Dia cepat bosan. Datan merasa ada kekosongan yang mengganjal di hatinya. Mimpi itu pun masih menghantui. Ana yang memesona, dengan pakaian Royan yang berpendar serta busur hitamnya, yang membocorkan secuil tentang Nameer dengan penuh semangat disertai mata berbinar-binar.
Sarmala, Urimenil… aku akan terus ingat nama itu, pikir Datan.
Hingga suatu ketika, kisah seorang bernama Osberga Sattin mencerahkan pikiran dan menyulut api tekad di hatinya. Perjuangan Sattin menginspirasi Datan kecil.
Usia sembilan tahun, diam-diam Datan menyelidiki Persaudaraan Royan. Datan menanyakan pada setiap orang yang mau meladeninya; mengubek-ubek sejumlah koleksi perpustakaan yang membahas topik tentang organisasi rahasia dunia; membaca koran setiap hari, mengamati apakah ada peristiwa menghebohkan akibat aksi Royan yang terekam Harian Tormera; bahkan sampai rela berpatroli keliling kota sendirian di kala malam persis anak hilang dari negeri seberang.
Datan melakukan apa pun yang dia bisa—membuat sebagian orang kini mengenalnya sebagai bocah gila yang terobsesi dengan Persaudaraan Royan. Tapi tetap saja. Hasilnya nihil. Tidak ada secuil pun informasi tertulis tentang mereka. Ayah sangat marah sewaktu akhirnya mengetahui perbuatan Datan. Berkali-kali mengurung Datan di kamar mandi semalaman. Memaksanya berendam di air danau yang dingin selama berjam-jam. Serta melarangnya keluar rumah dan pergi ke kota bertemu teman-teman untuk bermain layang-layang.
“Dasar anak dungu!” raung Ayah, suaranya menggelegar bagaikan guntur di langit. “Lebih baik kau jadi tukang daging membantu Fira di kota daripada bergabung dengan mereka!”
Datan kecewa berat.
Dari waktu ke waktu Datan berusaha terus mencari tahu tentang Persaudaraan Royan. Tetapi tak pernah mendapatkan hasil memuaskan, malah cenderung berakhir dengan menemukan kebodohannya sendiri yang terasa makin parah. Di kemudian hari, Datan pernah menguping dari dalam kamar, ketika Bibi Fira sedang marah besar terhadap Ayah karena dianggap telah mengajarkan perbuatan kriminal. Terlebih saat Bibi Fira juga tahu mengenai keinginan Datan untuk menjadi Royan. Marahnya justru makin menjadi dan suaranya melengking tinggi sampai nyaris memecahkan kaca jendela.
“Kau adalah Ayah terburuk yang pernah kutemui,” Bibi Fira memotong jamur dengan geram, ketika melakukan kunjungan rutin untuk memasak di dapur keluarga Woudward.
“Jangan potong jamurnya besar-besar. Datan tak akan suka. Sejujurnya tidak pernah terpikir olehku kalau jadinya akan seperti ini. Ini semua gara-gara Bark, Fira. Seandainya saja dia tidak menghadangku malam itu.”
“Jangan menyalahkan Bark, Matt! Secara hukum—dan moral, Bark melakukan apa yang sepatutnya dia lakukan,” Bibi Fira mendelik dingin, sambil mencicipi kuah kaldu yang dimasak dalam panci dengan sendok kayu. “Kau yang salah karena mencuri. Kau sudah tua. Sudah waktunya kau berhenti melakukan tindakan-tindakan menyimpang begitu. Beruntung kau tidak ditangkap olehnya, dan mereka takut dengan si Royan.
“Kalau tidak? Kau pasti sedang di penjara sekarang!”
Maka setelah kejadian itu, Bibi Fira mulai getol menasehati Datan agar melupakan ketertarikannya terhadap Persaudaraan Royan. Hingga Datan merasa telinganya panas dan hatinya gundah setiap kali mendengarnya.
Fira Carlina adalah teman dekat Ibu yang telah menganggap Datan sebagai anak kandungnya sendiri sejak masih bayi. Wanita Haedin berperawakan agak gemuk berwajah teduh yang gemar mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga tulip itu ingin agar Datan mencari cita-cita lumrah seperti anak-anak lain seumurannya.
“Kenapa kau ngotot ingin menjadi Royan, Datan?” tanya Bibi Fira, di suatu hari yang senggang dan menegangkan pada awal musim panas di bulan November.
Mereka baru selesai makan siang. Sementara Ayah sedang pergi ke kota untuk kunjungan ke rumah Paman Joe. Itulah pertama kalinya Datan melihat wajah Bibi Fira berubah hijau tua mirip orang keracunan buncis. Hidung peseknya seolah membengkak. Tampak mengkhawatirkan.
Datan tidak berani melihat lama, kembali mencoret-coret kertasnya dengan pensil warna di meja makan. Dia sedang iseng menggambar sosok perempuan bertudung yang kelewat kerempeng. “Umm…” gumamnya, mendadak gelisah. “Karena mereka keren, Bibi.”
Bibi Fira tampak berusaha keras menahan jengkel. Dia memegang sandaran seolah-olah kursi itu bisa melonjak lari kalau dilepaskan. “Mereka tidak keren, Datan. Kau tidak tahu apa-apa tentang mereka.”
Datan mengerutkan kening. Dia mendongak, melempar pandangan tak bersalah ke arah Bibi Fira. “Tapi bisa kubayangkan mereka menarik, Bibi,” lanjutnya mengakui. Lalu dia mengisap ujung jempol yang masih perih akibat lecet tersayat benang sewaktu adu layangan kemarin. “Mereka melakukan pekerjaan hebat yang tidak biasa.
“Bergabung dengan mereka pasti akan seru!”
“Kau mengerti aku tidak setuju, kan?”
Datan tak menjawab selain mengerucutkan bibir.
Bibi Fira menggeram. “Mereka bukan orang baik, Datan!” serunya. “Mereka orang-orang yang lahir penuh penderitaan. Pikiran mereka terganggu. Mereka gila dan keji! Sedangkan kau? Kau anak baik. Kau lahir dalam kehidupan yang damai dan menyenangkan di rumah ini. Dibesarkan dengan cara yang beradab. Lalu sekarang kau malah ingin menjadi pembunuh yang kehidupannya berantakan?
“Tidak ada alasan yang pantas bagimu untuk bergabung dengan mereka.”
Datan kaku membisu. Mulutnya tidak bisa menjawab, makanya dia memandangi lagi si perempuan bertudung yang tampak jelek dengan bahu miring ke kanan. Bibi Fira tidak salah. Tapi terus terang, sedikit pun Datan tidak merasa Ana seorang pembunuh yang keji.
“Ibumu pasti akan sangat kecewa jika kau menjadi Royan kelak. Dia benci Persaudaraan Royan.”
Datan kembali mendongak, alisnya bertaut. “Kenapa? Kenapa Ibu membenci Persaudaraan Royan?”
Senyum hambar merekah di sudut bibir Bibi Fira.
Posting Komentar untuk "Dua - Impian Menyimpang"