Tiga - Adzan Magrib
Aku memutuskan mandi demi menghapus kusut di wajah. Aku ingat kakek telah berpesan bahwa malam ini, sehabis magrib, akan ada tamu penting yang datang melakukan kunjungan singkat. Kami pun sudah melakukan persiapan sederhana demi menyambut kedatangannya.
Menit waktu serasa diperpendek sekian detik. Karena aku baru saja selesai mandi, di saat lantunan merdu yang selalu menggetarkan hati tiba-tiba terdengar.
Allahu akbar… Allahu akbar…
Aku melirik jam digital mungil di atas meja, pendar led-nya menunjukkan pukul 6.10 WIB. Lalu, pandanganku menoleh ke sebuah pengeras suara kecil yang menempel di sudut kanan kamar. Suara adzan menggaung dari pengeras suara tersebut. Adzan tidak lagi berasal dari masjid-masjid di luar rumah. Tapi, langsung berkumandang di dalam kamar setiap orang yang terdaftar sebagai Muslim. Disalurkan melalui jaringan nirkabel yang semua terhubung ke sebuah masjid.
Karena di wilayah yang telah menjadi milik seorang pengusaha Korea ini, adzan dilarang berkumandang di ruang terbuka.
Setiap kali mendengar adzan, jantungku seketika berdebar. Aku bergegas ke tempat wudhu yang berada di dalam kamar. Setelah itu berganti pakaian dengan kemeja koko dan kain sarung. Gaya berpakaian umat Muslim untuk salat tidak banyak berubah. Kecuali bahan dari kain sarung yang rata-rata terbuat dari katun poliester, lembut dan dapat cepat kering sehabis dicuci.
Aku mengambil sajadah di atas meja. Bergegas menuju pintu kamar dengan semangat dan agak tergesa, keluar dan berbelok ke tangga lalu turun. Aku harus lebih dulu menunggu Kakek yang pasti juga sedang bersiap-siap pergi ke masjid.
Tangga kami bertemu langsung dengan ruang tamu yang menyatu dengan dapur dan meja makan. Cahaya temaram dari serangkaian neon bulat menerangi ruangan. Membawa rasa nyaman di mata. Ruang tamu kami memiliki enam layar TV ukuran 32 inci, tersusun dan menempel pada satu sisi dinding, yang menampilkan pandangan kamera sekawanan robot bawahan kakek.
Kakek berkomunikasi dengan mereka melalui radio telepon genggam.
Aku melirik panel elektronik yang menempel di dinding secara instingtif. Mataku menangkap salah satu baris led yang berkedip pada kotak layar, bertuliskan:
Jatuh tempo pada tanggal 21. Biaya sewa tanah desa Ciboda di bulan Oktober 2075, senilai: Rp. 6.500.000.
Aku mendesah, membiarkan pandanganku berlari ke sebelah panel. Kamar tidur Kakek Arya berada tepat di sebelah kamar mandi. Telingaku mendengar suara serangga malam mulai bernyanyi, saat berjalan tanpa suara dan mengetuk pintu kamar kakek.
"Kek," kataku. "Adzan magrib."
"Ya, Birma," suara Kakek Arya terdengar parau di dalam. "Ayo, kita ke masjid."
Aku membuka pintu, dan melihat kakek berdiri di depan cermin yang menempel pada daun pintu lemari pakaian. Dia baru selesai mengenakan baju koko kesukaannya yang berwarna putih polos, lalu mengoleskan wewangian minyak kasturi di bagian torsonya.
Mataku berkedip memandangnya, sering kali terharu dengan tekadnya yang tak pernah berubah. Di mataku, tubuhnya sudah renta. Tapi menurut kakek, tubuhnya akan siap untuk dibawa maju ke medan perang kalau memang diharuskan.
Posting Komentar untuk "Tiga - Adzan Magrib"