Tiga - Kedatangan Irirana
Datan merasakan sesal yang mendera hatinya. Dia seharusnya memberikan Permata Zu kepada Nymeria sejak awal, sejak di Fardas di rumah Ubaga Jarhal. Atau mungkin, seharusnya dia mendengar peringatan Irirana untuk tidak menjalankan misi pencurian Permata Zu.
Hingga engahan napas mengusiknya.
Bokong Datan bisa merasakan getaran di lantai. Derap langkah yang ringan dan gesit. Yang melaju kencang dengan tergesa-gesa. Muncul pekikan yang Datan kenal. Datan membuka mata, masih di tempatnya duduk dengan ransel yang tersandar. Dia memandang tembok di depannya yang pecah-pecah, memutar leher dan melihat sosok berlari mendekat melambai ke arahnya.
“Irirana?” Datan memicingkan mata. “Apa aku bermimpi?”
“Datan!” suara Irirana menerobos dan menggema ke seluruh lorong. “Oh! Syukurlah!”
Irirana memelankan laju, terengah-engah dan terduduk di hadapan Datan. Dia memegang pergelangan tangan Datan, merasakan denyut nadi. Lalu meletakkan punggung tangannya di kening Datan, seakan-akan si pemuda terserang demam. Datan sadar dia tidak bermimpi. Karena aroma vanili seketika mengharumkan udara sekitar.
“Aku berlari,” seru Irirana. Raut wajahnya berubah ceria dan puas sekalipun kilau keringat membasahi kulit dan keningnya. “Aku berhasil menyusulmu!”
Datan terheran-heran. “Apa yang kau lakukan? Untuk apa kau kemari?”
“Untuk menolongmu.”
Datan masih belum merasakan perubahan pada suasana hatinya. Dia sulit percaya Irirana semata-mata datang hanya untuk menolongnya. “Irirana, Persaudaraan tidak memiliki kuasa di Dunia Bawah,” katanya. “Kau tidak aman berjalan bersamaku.”
“Hentikan ocehanmu. Aku bisa melindungi diri sendiri,” tangan Irirana merogoh ke dalam kantong sabuk yang melingkari pinggangnya. Dia mengeluarkan sebuah pil, mengamatinya sesaat, dan langsung meletakkannya di tangan Datan. “Nunin menamakannya hati putih. Antibodi untuk menghadapi radiasi merah. Dia juga dapat menetralisir efek tanjiji pada tubuhmu.”
“Radiasi merah?”
“Telan dulu, akan kujelaskan setelah itu.”
Datan mematuhi Irirana dan menelan pil putih tersebut. Sementara matanya melihat Irirana menghela napas lega dan bergeser duduk berselonjor di depannya, bersandar pada dinding seberang. Semenit berlalu, rasa sejuk yang janggal terasa di lambungnya. Datan merasa pikirannya kembali jernih. Emosinya dapat dikendalikan. Gradasi warna di penglihatannya menajam dan dia dapat mendengar sepi di sepanjang lorong.
“Bagaimana?” tanya Irirana.
“Aku tak tahu apa yang terjadi,” Datan memperhatikan Irirana. “Tapi rasanya lebih baik.”
Irirana mengenakan seragam malam yang desainnya sedikit berbeda dengan para Royan. Seragam malam Irirana memiliki bagian kerah yang menutup lehernya yang jenjang. Berupa tunik lengan panjang yang melekat dan berbahan ringan, memancarkan impresi bahwa setelan itu adalah karya istimewa. Terdapat pahatan logam mengilap berwujud Urtaya di punggung, tepat di bawah tengkuknya. Simbol logam itu bukanlah berwarna merah, melainkan emas. Warna seragam malam Irirana gelap menyeluruh, berbahan kain juul yang dianyam menggunakan benang yang dihasilkan labah-labah karad.
Seragam sang Kahisar terkesan lebih mutakhir dibandingkan milik para Royan.
Datan terenyuh melihat Irirana berada di depannya. Parasnya yang bersih dan jelita tampak bercahaya meskipun terlihat letih. Rambut dua warnanya yang lurus dan melewati bahu dibiarkan tergerai. Berkilau seperti baru saja diminyaki. Irirana sungguh bersamanya. Ada kelegaan mengisi dadanya, sekaligus rasa tenang yang nyaman. Keberadaan Irirana menghilangkan nuansa suram di hatinya. Datan tak mengira akan merasa seperti itu melihat kehadirannya.
Datan yakin pipinya merona. “Terima kasih,” katanya.
Irirana mengangguk kecil dan tersenyum puas. Dia meluruskan kaki dan mengatur napas. “Kau habis menangis?” tanyanya, keningnya berkerut. Dia membenarkan posisi barang bawaan dan melepas busur hitam Kalantaka yang mengganjal punggungnya.
“Aku teringat Ayahku.”
Irirana memperlihatkan kemurungan, “Aku turut berduka, Datan.”
“Kau sudah mengatakan itu sebelumnya. Tak perlu menghiraukanku, Irirana.”
“Jangan kau berkata seperti itu,” tukas Irirana. “Kau harus belajar merelakan kepergiannya. Apa Nymeria sudah menghubungimu lagi?”
Datan paham yang Irirana maksud adalah telepaqua, bakat misterius milik Nymeria yang ditancapkan kepada dirinya. Melalui telepaqua Nymeria dapat berbagi penglihatan dengan Datan. “Belum,” katanya. Lalu teringat hal yang lain. “Tetapi ada yang perlu kau tahu terkait obrolanku dengan Nymeria kemarin.”
Irirana mengangkat alis, melempar sorot mata bertanya-tanya.
Datan belum pernah menceritakan semua terkait misi Nymeria yang ditujukan kepadanya selama ini, dan sekarang Datan mengungkapkannya pada Irirana. Semua yang Nymeria bicarakan selama duel di tepi jurang. Tentang pria bernama Ur dan upayanya membangun ulang peradaban dunia dengan meracuni penduduk Permukaan.
“Nymeria ingin aku membantunya menghentikan seluruh anggota keluarganya, yang dia katakan sebagai penyebab tersebarnya darah hitam di Permukaan.”
Irirana terduduk kaku. Matanya berkedip seakan berupaya memperjelas fokusnya melihat Datan. Irirana bergeser maju, duduk bersila di hadapan Datan. “Nymeria mengatakan semua itu?” selidiknya tak percaya.
Datan mengangguk. Dia mengambil kantong air dari ransel, meneguk isi dan membasahi tenggorokannya yang kering. Datan mencermati raut wajah Irirana yang tegang. Sorot mata Irirana sesaat menerawang membayangkan situasi ketika Nymeria bercerita kepada Datan. Sang Kahisar terpekur selama semenit. Benaknya seakan sibuk melakukan berbagai simulasi dan skenario terkait kejadian-kejadian terburuk yang mungkin terjadi di Permukaan.
Bola mata Irirana berpendar. “Ceritamu mengejutkanku,” katanya. “Kalau yang Nymeria katakan benar, berarti kita memiliki petunjuk untuk mengatasi darah hitam. Nymeria mungkin tidak sejahat yang semula kita pikirkan.”
Datan mendengus, “Ada lagi,” keluhnya. “Terkait Permata Zu, Irirana.”
“Aku tahu, kita harus merebutnya kembali.”
“Bukan hanya itu masalahnya,” Datan menarik napas, merasa tak yakin dengan yang ingin dibicarakan. “Nymeria juga berkata Zu adalah bagian dari kunci untuk Gerbang Kegelapan. Dia berkata kalau kita—Persaudaraan Royan, tidak tahu sepenuhnya tentang Zu.”
Datan melihat kengerian menyerupai awan mendung yang muncul di raut wajah Irirana. Rahang Irirana mengencang. Sekelebat Datan melihat sinar matanya meredup dan menerawang. Irirana seperti hilang kesadaran untuk sepersekian detik dalam kebisuan.
“Irirana?”
“Kau tidak salah dengar?”
Datan menggeleng. Telunjuknya menggaruk-garuk ubin yang pecah. “Kau tahu sesuatu?”
Irirana menelan ludah, “Ada mitos para Tetua Marra di masa lalu yang membahas tentang Gerbang Kegelapan,” katanya. “Tetapi aku tidak bisa menceritakannya kepadamu. Tidak sekarang. Setelah kembali ke Permukaan, karena aku perlu memastikan keabsahan ingatanku.”
Datan mengangguk-angguk mengerti.
Irirana terdiam lama sebelum mengerutkan kening. “Kenapa Nymeria memilihmu?”
“Karena aku berdarah Ingra, dan dia seorang Urgut. Dia percaya pada ramalan itu,” gerutu Datan. “Dasar bodoh. Asal telan saja ocehan nenek moyang. Aku merasa seperti dimanfaatkan.”
“Nymeria butuh bantuan, Datan. Andai aku di posisinya,” tutur Irirana. “Keadaanku pasti sudah amat mendesak. Nyawaku mungkin berada dalam ancaman.”
“Dia membunuh Ayahku.”
“Kita akan memikirkan hukuman baginya, karena kutaksir dia juga telah membunuh Sami Famash. Sami tewas dalam upaya menangkapnya sejak di Fardas,” kata Irirana tenang. “Hanya saja situasinya sekarang sedikit rumit. Aku mulai mengerti mengapa dia mengikatmu dengan telepaqua. Kita membutuhkan Nymeria karena darah hitam, dan dia telah mengambil langkah berani dengan mengkhianati keluarganya.”
Datan tidak bisa mengelak lagi mendengar balasan terakhir Irirana. Bukan hanya dirinya yang kehilangan, Persaudaraan Royan—khususnya Irirana, pasti juga merasakan kehilangan atas tewasnya Sami. Sami Famash dikenal sebagai sosok yang tangguh dan murah hati di kalangan Persaudaraan. Dia memiliki prestasi cemerlang dan pernah terlibat dalam menghentikan beberapa konflik sipil dengan menyelesaikan tugas pembunuhan terhadap sekelompok provokator negeri.
“Nymeria memang membunuh Sami,” pengakuan Datan terdengar serak. “Maaf Irirana… aku seharusnya memberitahukanmu sejak awal. Aku turut menyesal atas kematiannya.”
Datan berterus terang telah menyaksikannya sendiri melalui penglihatan yang diberikan Nymeria. Irirana menutup wajahnya dengan kedua tangan, dan menarik napas dalam sesaat. Sekali pun matanya berkaca-kaca dan bibirnya melengkung ke bawah, dia mampu cepat mengendalikan diri. Irirana telah merelakan Sami, dan siap dengan kenyataan terburuk terkait pembunuhnya.
“Terima kasih sudah memberitahuku hal ini,” Irirana berkata lirih dan getir. “Persaudaraan akan memakamkan jasadnya dengan cara yang pantas dan terhormat, Datan.”
Datan mengangguk kecil. Dia memalingkan pandangan, dan melihat ke ujung lorong yang melandai. Menunggu isak samar Irirana terhenti. “Kau belum bercerita apa-apa padaku,” katanya kemudian. Dia mencoba mengganti topik perbincangan.
“Aku tahu, sebentar.”
Irirana menghirup napas sejenak sembari menyeka kedua mata. Dia memperhatikan Datan lama seakan mempertimbangkan keputusan untuk membuka sebuah rahasia. Dia berdehem pelan ketika emosinya kembali stabil, lalu mulai bercerita. Irirana rupanya mengunjungi Nunin Salama setelah keberangkatan Datan. Sementara Kanas diperintahkannya untuk mengurus jasad Sami Famash dan mencari Erkal—sekunar Ombak Hitam kepunyaan Sami.
Nunin seorang Penyembuh. Dia satu-satunya rekan Persaudaraan Royan yang tinggal di Wanageeska. Irirana mendapat informasi terkait radiasi merah dari perempuan itu.
Nunin bercerita bahwa di Dunia Bawah terdapat radiasi misterius yang menyatu dengan udara dan dikatakan muncul dari lapisan tanah. Dia dinamakan radiasi merah. Setiap jengkal udara di Dunia Bawah yang berasal dari hasil fotosintesis tanaman raksasa bernama radu, mengandung radiasi ini. Radiasi merah seperti kanker yang mencemari pikiran, emosi dan hati nurani seseorang. Membuat diri tidak bisa berpikir lurus dan tajam, berperilaku seperti binatang dan memiliki hasrat berlebihan terhadap sesuatu.
“Kau bisa saja berpendapat membunuh adalah hal lumrah seperti meludah.”
Datan tercengang. Apa jangan-jangan belakangan ini dirinya telah terpapar radiasi merah? “Aku tidak tahu ada hal berbahaya seperti ini,” pekiknya.
“Sudah kukatakan padamu sejak awal, tidak aman berangkat seorang diri,” keluh Irirana. “Sembilan puluh hari adalah waktu yang diberikan hati putih untuk kita. Lewat dari itu, kita akan langsung terpapar radiasi merah tanpa pertahanan.”
Nunin berkata banyak hal terjadi dan mengubah keadaan Dunia Bawah dalam beberapa tahun terakhir, sehingga kisah-kisah terdahulu yang menceritakan tentang tempat itu mulai tidak relevan. Datan lalu teringat satu-dua hal tentang Dunia Bawah. Orsberga pernah berkata dalam autobiografinya, bahwa dunia merah itu memiliki alam yang keras dan kejam. Orang Permukaan harus dapat beradaptasi dengan cepat kalau tidak ingin merana di dalamnya. Sattin juga menyebut Dunia Bawah dengan sebutan Dunakil—yang diartikan sebagai Tanah Yang Terkutuk.
“Kabar buruk juga tiba di hari keberangkatanku,” kata Irirana. “Orang-orang di pelabuhan Wanageeska menerima kedatangan kapal misterius Vortoka. Semua penumpang dan nahkodanya terjangkit darah hitam. Nunin langsung menyuruhku berangkat menyusulmu setelah mendengar kabar tersebut.”
“Astaga! Wanageeska bisa terjangkit!”
“Aku tahu. Nunin ngotot ingin melakukan investigasi. Kami telah memberitahukan lokasi keberadaan Erkal padanya. Jalan keluar seandainya Wanageeska mengalami kejatuhan.”
Datan merasa jantungnya berdebar. “Bagaimana dengan Kanas?”
“Kanas keberatan dengan keputusanku mengejarmu, dan dia harus menerimanya. Kanas pulang ke Yardara membawa jasad Sami bersama yang lain. Aku sudah memberinya instruksi terkait kepemimpinan Persaudaraan, beberapa surat untuk pihak terkait, serta anak-anak asuhku.”
Datan tak mengira Irirana telah melakukan semua itu, “Benji bakal mengamuk.”
“Mereka sudah tahu sejak awal, Ibu angkatnya adalah seorang pembunuh dan pemburu. Aku sudah mengajarkan mereka untuk siap untuk situasi-situasi genting seperti ini. Filia akan bisa diandalkan.”
Datan menarik napas dalam, mengembuskan perlahan. “Apa rencanamu, Irirana?”
“Memburu Nomor 4.”
Datan menggaruk celah pecahan lantai di bawah telapak tangannya. Teringat Ana pernah menyebut ‘Nomor 14’ kepada Bark si Kepala Keamanan Tormera, “Aku tidak mengerti.”
“Kukatakan padamu alasanku membangkitkan Persaudaraan Royan, Datan,” kata Irirana. “Aku melakukannya karena ingin mengembalikan keseimbangan dunia. Sejak terjadinya insiden ‘Pembobolan Pertama’ di Penjara Gantung Ratrat, Permukaan seketika dicekam teror. Tiga puluh kriminal paling berbahaya yang pernah ditangkap, terlepas dan menghilang. Mereka kriminal dengan rekam jejak kejahatan masif yang menyebabkan kejatuhan suatu negeri, perpecahan antar suku, dan bahkan meletusnya perang sipil.”
Datan mendengar jantungnya berdebar, bulu-bulu halus tengkuknya berdiri.
“Di antara kita, mereka dinamakan 30 Kriminal,” lanjut Irirana. “Hanya Royan tertentu, yang kupercaya, yang mengemban misi memburu mereka. Hidup atau mati.”
Datan menelan ludah. “Lalu, Nomor 4?” tanyanya.
“Dia salah satu yang terburuk,” balas Irirana.
Posting Komentar untuk "Tiga - Kedatangan Irirana"