Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dua - Menuju Dunia Bawah

Datan merasakan udara mengisi paru-paru.

Kesadarannya bangkit dan kepalanya berat. Datan menyadari posisinya duduk bersandar di tembok yang dingin, di bawah suluh api, di dalam lorong yang panjang dan suram. Lorong itu memiliki tinggi hampir tiga meter. Lantainya telah dipasang ubin. Dindingnya dilapisi bata berbentuk persegi yang tersusun tidak rata, dengan sudut-sudutnya mulai keropok, tergerus dimakan waktu. Semakin ke dalam, hawanya semakin pengap. Tidak ada lubang ventilasi di lorong itu. Tidak ada aliran angin yang berembus. Udaranya lembab dan apak, seperti telah bersemayam selama bertahun-tahun sejak lorong itu dibangun.

Datan masih berupaya mengingat-ingat. Rencananya tidak berjalan sesuai keinginan. Kurang lebih satu minggu ketetapan waktu yang diperlukan untuk sampai di Anun, negeri pertama Dunia Bawah yang akan Datan singgahi begitu sampai di ujung lorong. Dari sana, Datan akan berangkat ke negeri Eglak untuk memburu Antal dan Jasin, demi mengorek informasi terkait keberadaan Nymeria.

Datan harus menemukan perempuan itu.

Lalu membunuhnya. Membalaskan dendam atas kematian Ayah.

Tetapi baru tiga hari Datan berjalan lesu menelusuri lorong, sendiri dalam duka, perasaan ini malah melandanya. Datan merasa seluruh energi kehidupannya terkuras. Tubuhnya lemah tak bertenaga. Dia kehilangan gairah untuk bangkit. Ada sesak kesedihan yang menekan dada, yang membuatnya sulit bernapas. Sampai kemudian Datan memutuskan berhenti di pinggir jalan, duduk lalu rebahan, makan lalu termenung, memaki-maki dan menangis, serta diam berhari-hari hanya sekadar menghabiskan bekal, berharap ada tekad yang kembali menyala dalam dirinya untuk mengejar Antal dan Jasin.

Namun tekad itu belum juga muncul.

Datan memejamkan mata dan bernapas perlahan. Dia gelisah akan kenangan buruk yang muncul—terkait kematian Ayah. Yang jatuh menghantui benaknya seperti hujan asam membasahi kebun di halaman. Datan bertanya-tanya, apa yang Ayah rasakan sekarang? Apa jiwa Ayah lenyap begitu saja setelah dimakamkan? Apa pada detik ini sudah tidak ada lagi kesadaran pria bernama Mattan Woudward?

Datan merasa dunianya menyusut.

Sebelum ini, Datan selalu bersikap sebagai pemuda yang bangga dan percaya pada diri sendiri. Karena dia memiliki semuanya. Datan hampir tak pernah merasa membutuhkan bantuan orang lain. Sekarang keadaannya berbeda.

Setelah menyaksikan kematian Ayah, Datan merasakan kehilangan.

Datan mencoba mendorong dirinya untuk tegar—atau mungkin berpura-pura tegar, tetapi sulit. Kecemasan memenuhi kepala dan ketakutan menggemuruh di batinnya. Untuk pertama kali, Datan merasa tak berdaya. Tidak hanya berhenti di situ, rasa lain turut mempengaruhi emosinya. Ada dendam membara disertai ketakutan akan masa depan yang tidak pasti. Datan yakin dia akan mendapatkan Nymeria—cepat atau lambat. Apa pun alasan Nymeria, yang meminta tolong Datan untuk membunuh setiap anggota keluarganya dan menyelamatkan dunia, tidak akan sanggup meloloskan perempuan itu dari maut yang akan Datan lemparkan.

Tiba-tiba Datan membenturkan belakang kepalanya ke dinding.

Karena Datan menyadari sesuatu. Lebih mudah menjadi pencuri yang brengsek, yang tidak perlu repot-repot merasakan empati terhadap kemalangan orang lain. Dengan begitu Datan bisa berbuat sesuka hati dan sebebas-bebasnya meraih setiap kenikmatan hidup.

Hingga Datan teringat peristiwa muram dan mengerikan di Tormera.

Datan teringat kesusahan Bibi Fira, Paman Joe dan Erry yang menahan derita terjangkit wabah hitam. Apakah Casta berhasil mendapatkan penawar untuk mereka? Datan teringat Tannu yang tak bisa disembuhkan dari cengkeraman darah hitam. Datan khawatir Bibi Fira dan yang lain tak berhasil diselamatkan, dan dia akan berkabung untuk yang kedua kalinya.

Kedua tangan menutupi wajah. Pipinya basah.

Kejujuran dalam dada terasa melubangi jantung.

Datan mungkin hanya seorang pengecut. Dia tak sehebat yang semula dia pikir. Sejak awal dia memang tidak merasa ingin menjadi pahlawan atau pembela kebenaran. Sekali pun suatu hari Ayah pernah berpesan, jadilah orang yang memberi arti dan membawa kebaikan kepada dunia. Pesan itu terkesan mengada-ada baginya. Datan mengerti, tidak seperti kisah dalam dongeng anak Haedin yang mempromosikan ksatria mereka, jalan sebenarnya menjadi pahlawan yang membela kebenaran adalah jalan sepi yang mendaki. Itu sebabnya dia takut untuk menjadi pahlawan. Datan takut berkorban dan menderita. Takut tidak bisa lagi menikmati hidup. Dia takut tidak bisa lagi tertawa, mencinta, bersantai dan bersenang-senang.

Datan Woudward takut kehilangan nyawa.

Datan paham dia hidup hanya sekali. Rasanya wajar kalau dia berpikir begitu. Paman Joe pernah bercerita kepadanya, pengalaman kakeknya—Joe Lim, ketika menjadi prajurit Kalidas dalam perang Tiga Bangsa yang meletus sebelum era Kebangkitan. Paman Joe menceritakan kisah itu begitu tajam hingga Datan bisa membayangkan betapa menakutkannya keadaan perang. Datan tak ingin mengalami itu. Dia takut terlibat dalam peperangan yang penuh pertumpahan darah.

Tiba-tiba pendar ganjil tertangkap pandangan. Datan mengangkat tangan ke depan wajah, merasakan kehangatan melingkari jemarinya. Pikirannya teralihkan. Matanya yang masih berkaca-kaca terpana memandang malika. Cincin dari kayu quir itu seolah menatap balik.

Datan mengerutkan kening. Dia melepas warisan itu dari jemari, memperhatikan seksama dan segera menyadari keanehan. Malika berubah warna menjadi semerah darah. Apa yang terjadi? Datan terpekur mengorek-orek ingatan, mencari-cari penyebab atau petunjuk. Tetapi, dia tidak mendapatkan yang diharapkan.

Ayah tidak meninggalkan pesan apa pun terkait malika.

Datan menyematkan kembali malika di jari tengah tangan kirinya, memandangnya lama, kali ini disertai rasa khawatir. Dia melanjutkan diam, merasakan napas yang mengalir, termenung dengan memejamkan matanya yang sembab.

rama nugraha
rama nugraha Mantan Orang IT yang jadi Penulis.

Posting Komentar untuk "Dua - Menuju Dunia Bawah"