Tiga - Gadis Bernama Erry
Tiga - Gadis Bernama Erry
Datan tidak pernah mendapatkan dukungan untuk menjadi Royan. Tapi dia juga tidak bisa berhenti ingin menjadi Royan dan bertemu lagi dengan Ana. Membaca sejarah membuat Datan ingat dan mengerti, bahwa orang-orang hebat di masa lalu pun banyak mengalami pertentangan, rela bersusah-susah dahulu sebelum akhirnya berhasil.
Meskipun harus Datan akui kalau semangatnya makin meredup.
Sampai Datan bertemu Erry Monala. Gadis cilik tomboi yang berprofesi sebagai pencuri jalanan di Tormera. Datan sedang jalan sendirian di pasar sehabis membeli layang-layang bekas bercorak merah, sewaktu memergoki Erry mencuri dompet seorang pengunjung berkepala botak berdandanan necis yang sudah tua renta di tengah keramaian.
Datan dengan cekatan menghadang Erry. Di sudut gang sempit yang terlantar.
“Kau mau melaporkanku?” tandas si gadis dengan tatapan sinis.
“Aku tidak berniat melaporkanmu. Aku hanya ingin ikut main!”
Erry mengibaskan rambut perak miliknya, yang panjangnya hanya sedikit melewati tengkuk.
“Hei, ini bukan permainan! Ini sebuah profesi!”
Datan memamerkan gigi-gigi yang putih merata. “Ajari aku?”
Datan harus merengek selama seminggu penuh di hadapan Erry. Membujuk perempuan bermata kelabu itu, membuntutinya ke rumah, berteriak-teriak memperingatkan seisi pasar sewaktu Erry hendak beraksi, sampai akhirnya Erry angkat tangan dan bersedia menerima Datan sebagai teman mencurinya.
“Kalau saja kau bukan seorang Ingra,” Erry mencetus terus terang. “Aku pasti sudah memukulmu. Biar kau kapok menggangguku.”
Datan terkekeh ceria sambil membusungkan dada. Sebenarnya Datan takjub dengan Erry. Seleranya mungkin ngawur. Tapi Datan melihat Erry sebagai teman main yang membanggakan. Pikiran Erry kerap dipenuhi khayalan liar, dan dia bernyali. Sebentar saja, mencuri menjadi hobi baru Datan selain bermain layang-layang.
“Yang harus kau lakukan pertama kali adalah memperhatikan gerak-gerik korbanmu, Datan,” jelas Erry. “Kau pun harus tahu pasti di mana dia menyimpan uangnya, dan kapan momen paling tepat untuk beraksi. Dengarkan instingmu. Jika ragu, ada baiknya kau mencari korban lain.”
“Aku mengerti,” Datan mengangguk semangat. “Kalau ketahuan?”
Erry menyeringai. “Bodoh,” cetusnya. “Lari. Sudah jelas, kan?”
Di kepala, Datan mengerti betul setiap teori yang diucapkan Erry. Prakteknya? Nyaris tidak pernah mulus. Rasa takut sering kali menyergap hingga membuatnya sulit untuk memperhatikan dengan cermat, serta memperhitungkan dengan matang setiap langkahnya. Akibatnya, Datan lebih sering tertangkap petugas daripada berhasil mencuri. Ayah dan Bibi Fira terguncang ketika tahu Datan mencuri. Bibi Fira bahkan sempat pingsan, dan baru bisa bangun ketika lubang hidungnya diolesi irisan bawang putih.
“Kau membuatku malu, Datan!” Ayah mendesis marah sepanjang jalan pulang. Saat pertama kalinya menyeret Datan keluar dari penjara anak. “Kau lihat wajah Bark tadi? Dia puas melihat kau tertangkap! Apa sih maumu? Untuk apa kau melakukannya?”
Datan menunjukkan gigi-giginya. “Semula aku memang agak takut,” katanya jujur. “Tapi aku senang, Ayah! Mencuri itu seru dan mendebarkan! Kupikir orang-orang harus mencobanya.”
Ayah membelalak tajam, kulit wajahnya sepucat kesemek busuk. “Bodoh!” dia menghentak tangan yang menggandeng Datan. Lalu Ayah tampak kesulitan berkata-kata. Seakan yang dilakukan Datan adalah sesuatu yang benar dan masuk akal. “Oh, siapa yang meracunimu jadi seperti ini?!”
Datan diam dan memalingkan muka. Dia tak ingin Ayah tahu tentang Erry.
“Tidak ada makan malam. Kau tidur di teras malam ini!”
Datan menoleh cepat, tercengang tak berkedip. “Ayah serius?”
“Tentu aku serius! Ulangi, dan aku tidak akan mau menjemputmu lagi! Gara-gara kau, kita kehilangan uang jatah makan seminggu—hanya untuk bayar tebusan!”
Datan merasa terpukul ketika pertama kali disuruh tidur di luar. Dia kedinginan dan digigiti nyamuk sepanjang malam, sekaligus terpekur bingung dengan cara berpikirnya Ayah. Bagaimana bisa anak seumuran Datan disuruh tidur di teras rumah? Bagaimana kalau ada serigala lapar yang tersasar dan menerkam saat dia tidur? Selama tiga hari ke depan, mulai dari sarapan sampai makan malam, Datan selalu cemberut dengan wajah ditekuk seperti karton lipat setiap kali bicara dengan Ayah.
Datan jengkel berat. Ayah macam apa Mattan Woudward itu? gerutunya dalam hati.
“Kau tidak boleh menghukumnya dengan cara seperti itu, Matt,” protes Bibi Fira, ketika suatu hari mendengar pengaduan Datan kepadanya. Dia mengisap kuat-kuat batang Babag di sudut bibirnya. Bibi Fira memang seorang pengisap Babag kronis. Meskipun dia tak berani mengisap Babag di hadapan Datan.
“Biarkan saja, Fira,” tegas Ayah, sejenak melepaskan mata dari buku yang sedang dibaca. “Aku tahu betul siapa anak tunggalku itu. Dia bocah congkak yang bebal dan suka seenaknya. Hukuman biasa tidak akan membuat dia jera.”
Ayah sudah membenci Erry sejak pertama memergoki Datan berjalan bersamanya mengelilingi pasar. Datan rasa Ayah memata-matainya sepanjang hari belakangan. Tetapi yang lebih mengejutkan, Bibi Fira justru jauh lebih benci lagi. Saking bencinya, Bibi Fira sampai melarang Datan menemui Erry yang dianggap sebagai teman yang membawa pengaruh buruk.
“Aku tidak suka melihatmu bermain dengan Erry,” kata Bibi Fira dingin.
“Tapi dia teman yang menyenangkan, Bibi,” Datan mengakui. “Dia juga suka main layang-layang.”
“Gadis macam apa yang suka main layang-layang?” Bibi Fira menyipitkan mata. “Oh! Aku lupa. Gadis pencuri, ya? Memalukan,” ejeknya. “Erry hanya mengajarkan keburukan padamu, Datan. Jauhi dia, aku tidak menyukainya.”
Tapi Datan tidak mau menurut. Dia tetap saja rutin bermain dengan Erry.
Hanya bersama Erry, Datan bebas melakukan apa pun yang dia suka. Termasuk mencuri—kegiatan yang memberikan warna baru dalam kehidupan Datan. Datan sadar kalau dia merasa senang saat dadanya berdebar mengawasi seorang korban; saat keringat bercucuran membasahi punggung sewaktu tangan kecilnya mendesak masuk ke saku mantel seorang wanita kaya demi menggapai dompet yang diharapnya berisi permata; saat napasnya tercekat ketika si korban memergokinya; saat dia melarikan diri menerobos keramaian, orang-orang menjerit, menyeru ke arahnya—apalagi ketika pencurian berkelompok; saat dia memaksa petugas keamanan berlari keliling kota.
Meski pada akhirnya dia tertangkap.
Ayah angkat tangan menasehati Datan. Sampai-sampai Ayah rela betul membiarkan Datan tinggal seminggu di penjara daripada harus menanggung malu dan buang-buang uang untuk menebusnya. Bibi Fira masih tetap bawel seperti biasa. Malah beberapa kali dia pernah menegur Erry untuk menjauhi Datan. Tapi Datan yang hafal sikap Bibi Fira, segera membujuk Erry untuk tidak mengambil hati atas ocehannya, dan bahwa semua akan baik-baik saja.
Untungnya Erry mau mengerti.
Posting Komentar untuk "Tiga - Gadis Bernama Erry"